Indahnya Persahabatan


“Indahnya persahabatan adalah: kita tidak harus menjadi sedarah untuk bisa sehati dan sepemikiran.”

Kalimat itu terngiang terus belakangan ini. Sepertinya ditulis oleh Torey Hayden dalam bukunya, Sheila, yang dipinjamkan seorang teman padaku.
Di tengah kehangatan dan kebaikan teman dan sahabat, aku merasa hidup itu dilimpahi syukur. Dan itu kuungkapkan pada dua sahabat tadi, hari ini.
Pernah buka www.rotten.com? Situs yang isinya gambar-gambar mengerikan mayat manuia atau potongan tubuh manusia. Aku membahasnya dengan seorang sahabat belum lama ini.
“Ada foto mayat membusuk di apartemen karena sakit nggak ada yang tau. Parah ya? Ada foto orang kena ranjau, mukanya tinggal separuh. Kalau sudah begitu, aku jadi mikir. Manusia itu hanya seonggok daging busuk jika nyawa sudah melayang.”
Sang sahabat tercenung mencernanya.

“Kalo udah gitu, gue jadi bersyukur banget masih dikasih napas sama Tuhan setiap bangun pagi. Dan nggak jadi daging busuk.”
“Iya , kita harus bersyukur sama hidup kita. Ngga usah pengen macem-macem. Masih dikasih nyawa aja udah bagus,” jawab si sahabat.

Ada baiknya juga mengungkapkan rasa syukur itu kepada orang-orang yang kita inginkan. Simbol rasa terimakasih kita atas dukungan mereka. Ini hal yang sering kita lupakan. Ada rasa gengsi, malu, dan sebagainya. Padahal apa salahnya?

Saya tidak pernah punya figur seorang ayah sejak kecil. Dan belakangan ini saya menemukannya pada sosok seseorang. Tadi saya mengungkapkanya secara spontan. Reaksinya sungguh menakjubkan. 

“Oh ya..tentu pahala bagi saya bila bermanfaat bagi orang lain. Dalam Islam disebut rahmatan lil alamin. Tuhan memerintahkan kita untuk jadi rahmat bagi sesama.” Begitu jawabnya bijak.
Indahnya persahabatan: kita tidak harus sedarah, seagama, untuk bisa sehati dan sepemikiran!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar