Selama ini, salah satu cara yang kerap dilakukan orangtua untuk
mendisiplinkan anak yaitu dengan hukuman. Dalam disiplin positif dikenal adanya
konsekuensi, yakni hal-hal yang mengikuti atau terkait dengan tindakan anak. Ada dua jenis konsekuensi, terdiri atas konsekuensi natural dan konsekuensi
logis. Konsekuensi natural adalah konsekuensi yang terjadi secara alami,
seperti kalau hujan-hujanan akan basah, jika tidak makan akan kelaparan.
Sedangkan konsekuensi logis merupakan konsekuensi dari pilihan yang dibuat oleh
anak dan dapat ditentukan sesuai perjanjian.
Proses pembelajaran konsekuensi dapat dimulai saat anak mendapatkan suatu
kesempatan, maka ia bertanggung jawab atas kesempatan tersebut dan memiliki
konsekuensi yang menyertainya.
Semisal anak mendapatkan kesempatan bermain bersama teman di luar rumah,
maka anak bertanggung jawab menjaga tingkah lakunya selama bermain, seperti
bertingkah laku sopan dan tidak menyakiti teman. Jika anak melanggarnya,
konsekuensinya anak hanya boleh bermain di rumah, tentunya ia harus meminta
maaf pada temannya tersebut.
Konsekuensi dapat berupa kehilangan atau penundaan hal-hal yang disukai
anak, contohnya anak tidak diperbolehkan main keluar rumah bersama teman selama
beberapa hari karena ia memukul temannya. Pada dasarnya, penerapan konsekuensi
lebih efektif dibandingkan memberi hukuman.
Biasanya hukuman hanya fokus membuat anak jera, namun dalam jangka waktu
pendek. Artinya anak jera saat diberi hukuman, tetapi kemudian mengulang
tindakan yang sama di lain waktu. Sedangkan konsekuensi lebih fokus pada solusi
dan bersifat jangka panjang. Tentu saja jika konsekuensi tersebut melibatkan
anak dalam pembuatannya, disertai diskusi mengapa harus dilakukan, sehingga
anak mengetahui kesalahannya dan dapat mengubah perilakunya.
Reward atau Dukungan
Setelah disiplin positif berhasil dijalankan, maka orangtua perlu
memperkuat tampilnya tingkah laku yang positif. Umumnya orangtua memberikan
hadiah (reward) pada si kecil. Idealnya, pemberian reward harus sesuai dengan
tindakan yang dilakukan anak, serta tetap fokus pada tingkah lakunya.
Lebih baik jika orangtua memberikan dukungan (encouragement), saat anak melakukan tindakan positif maupun
negatif. Dukungan dapat berbentuk pujian atau penghargaan bila anak melakukan
tindakan positif, serta membantu anak mencari solusi ketika anak menampilkan
tindakan negatif atau tidak diharapkan. Semisal anak mendapat nilai buruk di sekolah,
orangtua dapat memberikan dukungan dengan mengatakan, “Sekarang kakak dapat
nilai lima untuk ulangan matematika. Tapi mama tetap sayang kakak kok.
Kira-kira, gimana ya supaya lain kali kakak dapat nilai lebih tinggi”. Dengan
demikian, anak tetap merasa dirinya dihargai. Sedangkan
hukuman fisik, dapat ditiru anak dan menjadi alternatif pemecahan masalah
baginya kelak dalam memecahkan masalah.
Menerapkan aturan pada anak harus bersifat jelas dan spesifik. Jadi, aturan
berisi tingkah laku yang diharapkan dari anak atau tugas-tugas lainnya dapat
dilakukan anak setiap hari. Aturan hendaknya disesuaikan dengan usia anak dan
orangtua wajib bersikap tegas dan konsisten dalam menerapkan aturan, namun
tetap disertai sikap tenang dan hangat.
Orangtua merupakan contoh bagi anak. Jadi jika mengharapkan anak bertingkah
laku tertentu, Anda hendaknya memberikan contoh dengan menampilkan tingkah laku
tersebut. Bukankah anak belajar dengan meniru?
Jadi, anak-anak yang dididik
dengan hukuman fisik tersebut berperilaku baik hanya jika berada di hadapan
orang lain yang mereka segani atau dengan kata lain menjadi lebih tergantung
pada kontrol dari luar, sementara diri mereka sendiri sebenarnya tidak memiliki
motivasi dari dalam untuk melakukan perilaku yang baik secara moral. Hukuman
fisik dengan kekerasan tidak bisa membuat hati nurani anak menjadi lebih peka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar