Menjadi Perempuan: Kehormatan atau Kehinaan



Dan mulailah saya membuat judul-judul penuh pertanyaan yang menjijikan. Tidak juga, sebab dunia ini sendiri sarat dengan pertanyaan. Kontroversi tiada habis. Ironi yang tak kunjung usai. Judul di atas sendiri merupakan kalimat Tanya yang hingga etik ini belum terjawab dengan pasti oleh masyarakat kita.
Menurut Nawal El Saadawi, kalau di Mesir seorang anak perempuan lahir, maka si bapak akan pergi tidur setelah memukuli istrinya dengan penyesalan. Sedang kalau anak lelaki yang lahir, si bapak akan tersenyum bahagia dan pergi tidur dengan tenang. Pramoedya Ananta Toer mengisahkan dalam Gadis Pantai, para suami ningrat Jawa tak sudi melihat anaknya yang baru lahir kalau si anak berkelamin perempuan. Bahkan sampai berhari-hari atau selamanya sang bapak ningrat tadi tidak akan menjenguk anaknya walau tetap memberi nafkah materi. Dua contoh di atas berasal dari budaya berbeda, bahkan jutaan mil jauhnya terpisah. Namun ada satu garis lurus yang bisa ditarik persamaannya, sejak lahir perempuan tak dihargai.

Beranjak besar, seorang perempuan di keluarga Indonesia umumnya lebih banyak punya beban dibanding lelaki. Harus membantu ibu di dapur. Menghidangkan minuman untuk tamu yang datang. Menyapu, mengepel, cuci baju, cuci piring, beres-beres rumah, semuanya dianggap pekerjaan layak bagi anak perempuan. Anak lelaki bisa bebas tugas dari itu semua. Boleh pergi main hingga larut malam, makan, tidur, tanpa dibebani kerja apapun. Itulah potret mayoritas keluarga di Indonesia.

Setelah dewasa, seorang perempuan dilegalkan menjadi istri kedua, ketiga dan keempat bahkan juga simpanan. Acara berita kriminil di televisi selalu menyiarkan berita penggrebekan terhadap Wanitas Tuna Susila (WTS), tapi tak pernah mengekspos kinerja para Pria Tuna Susila alias gigolo. Iklan di media massa lebih kerap menyorot kecantikan dan tubuh sexy para perempuan, tapi pemandangan lelaki tampan sangatlah langka dijadikan nilai jual komersil. Seorang lelaki yang pulang kerja larut malam akan dipuji sebagai pekerja keras yang hebat dan cinta keluarga. Sedangkan perempuan yang pulang kerja malam hari akan dicap sebagai penjaja seks, cewek murahan, tak tahu waktu dan sejenisnya.

Dari semua fakta di atas, saya jadi bertanya-tanya, apakah menjadi perempuan itu sedemikian hina? Tapi ironisnya, kalau ada ilmuwan perempuan yang meraih penghargaan seperti Inez Loedin dengan beras transgeniknya, maka seluruh media massa akan bertempik sorak. Memuji-muji bahwa perempuan tak kalah dengan lelaki. Presiden perempuan awalnya sangat dihargai karena keperempuanannya. Bahkan Miss World yang jelas mengandalkan kelebihan fisikpun dipuja-puja seantero jagat raya.

Akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan. Semua pujian dan sanjungan media massa terhadap prestasi perempuan hanya sekadar kecap dapur belaka. Mengapa seseorang harus disanjung berdasar prestasi plus jenis kelaminnya? Kenapa seorang Inez Loedin tidak dipuji sebagai ilmuwan penemu beras transgenik saja. Mengapa harus ada embel-embel “ilmuwan perempuan”? Opini saya adalah, sanjungan dengan mengikutkan predikat gender bagi perempuan justru merupakan penghinaan. Menjadi presiden bagi seorang lelaki dianggap wajar saja, tapi luar biasa ketika presiden itu berkelamin perempuan. Berarti di mata dunia, perempuan tetap mahluk lemah yang patut mendapat tepukan tangan kalau sedikit berprestasi. Hinaan itu adalah dengan memberi embel-embel predikat “presiden perempuan”, “ilmuwan perempuan”, “penulis perempuan” dan seterusnya.

Uniknya, kaum perempuan sendiri kerap kali tidak menghargai kaumnya sendiri. Mereka terbawa arus patriarkis yang menganggap perempuan selalu lemah dan rendah dibanding lelaki. Mereka adalah perempuan yang ikut menyalahkan sesama kaumnya ketika menjadi korban chauvinisme lelaki. Mereka bisa saja seorang ibu yang mencibir anak peempuannya yang hamil di luar nikah dengan mengatainya “perempuan murahan”. Atau seorang ibu yang berusaha sekuat tenaga memenuhi keinginan suaminya untuk memiliki anak lelaki.

Kembali ke judul di atas, sebuah kehinaan atau kehormatankah menjadi perempuan? Bagi seseorang yang sangat menghargai harkat manusia, saya dengan tegas menjawab, menjadi apapun kita adalah sebuah kehormatan. Bahkan kalau ingin meminjam rasa chauvinisme kaum lelaki, saya ingin tegaskan perempuan jauh lebih terhormat daripada lelaki. 

Perlakuan budaya yang mengharuskan kaum perempuan menjaga keperawanannya sebelum menikah adalah bukti dari kehormatan itu sendiri. Lelaki boleh saja meniduri jutaan perempuan sebelum beristri. Tapi kaum ortodok menginginkan darah perawan di malam pertama. Bagi sebagian orang itu adalah pelecehan perempuan, tapi tidak bagi saya. Kita balik saja pandangannya. Bukankah itu berarti harga diri lelaki jauh lebih murah ketimbang perempuan? Lelaki dilegalkan mengobral seks pada siapa saja, tapi tidak perempuan. Tidakkah itu sebuah budaya penghormatan bagi perempuan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar