Subuh-subuh begini, lumayan berat buat Kakak untuk
salat subuh. Kami pun bersama mengucapkan doa bangun tidur. Tak hanya lafaz
doanya dalam bahasa Arab, tapi sekalian dengan terjemahannya: segala puji bagi
Allah yang telah menghidupkan aku setelah aku mati. Setelah itu berlanjutlah
dialog, apakah memang orang tidur itu mati? Saya menjawab sederhana saja, orang
tidur dalam banyak hal sama dengan orang mati: tidak bisa bicara, tidak
melihat, tidak mendengar. Dan memang tidaklah mustahil orang tidur tidak bangun
lagi, dan karenanya sudah sepatutnya kita bersyukur kalau bisa bangun lagi.
Tapi bukan itu sebenarnya intinya yang membuat saya merasa perlu datang ke laptop
dan mencatat lintasan pikiran yang mengganggu, mendesak-desak di kepala minta disalurkan
dalam bentuk huruf-huruf.Saya jadi ingat masa kecil saya, sd, smp... Di mana saya diajari untuk menghafal beberapa lafaz doa. Juga surat al-Qur'an. Lalu saya merasa doa itu seperti mantra-mantra, yang karena mengucapkannya maka ada kekuatan sihir yang akan datang menolong saya. Lebih konyolnya lagi, ketika saya merasa kengerian sendirian di kamar, saya meletakkan al-Qur'an di dekat bantal saya, dan saya pun merasa lebih aman.
Padahal, saya kini yakin, masalahnya bukan pada lafaznya semata. Bukan pada masalah lembaran-lembarannnya, tulisan di atas kertas. Tapi lebih kepada pemahaman kita sendiri, semangat spiritual kita sendiri yang lahir di dalam hati, berpengaruh pada aura ruh kita, yang akan menentukan ampuh tidaknya lafaz-lafaz itu.
Kalau saya jadi guru agama di sekolah, saya tidak akan meminta murid-murid saya menghafal lafaz, tapi juga arti lafaz itu. Sedikit-sedikit, asal benar-benar paham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar